Penulis : Abu Ahmad Zaenal Abidin,Lc.
Menjadi anak shalih, siapa yang tak mau? Memiliki anak shalih, orang tua mana yang tidak rindu? Anak shalih adalah dambaan tiap orang tua. Sejahat apapun kelakuan orang tua, nuraninya tak mungkin berkeinginan sang anak mengikuti jejak orang tuanya, menjadi penjahat, koruptor, penjudi, atau pezina.
“Jadilah anak shalih, tekun beribadah, rajin belajar, jadi orang pintar, jangan seperti bapakmu ya Nak?” begitu sering kali orang tua berpesan pada anaknya. Anak shalih senantiasa mengalirkan kebaikan bagi kedua orang tuanya walaupun keduanya telah tiada, bahkan derajat keduanya terangkat karena istighfar anaknya. Atau anaknya meninggal lebih dahulu sementara kedua tuanya bersabar dalam rangka mencari pahala dari Allah maka akan memberi balasan mulia di surga sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam :
Jika putera seorang hamba meninggal dunia Allah subhanahu wata’ala berfirman kepada malaikat: Kalian telah mengambil putera hamba-Ku? Mereka berkata: Ya. Allah subhanahu wata’ala berfirman: Kalian telah mengambil buah hati hamba-Ku? Mereka berkata: Ya. Allah subhanahu wata’ala berfirman: Apa yang diucapkan oleh hamba-Ku? Mereka berkata: Ia memuji-Mu dan mengembalikan kepada-Mu. Maka berfirman: Bangunkanlah rumah di surga dan berilah nama dengan Baitul Hamad.[1]
Anak shalih adalah buah hati yang senantiasa disayangi dan belahan jiwa yang membuat hati orang tua berbunga-bunga. Sehingga saat anak menderita, orang tua merasakan deritanya, saat sang buah hati terkena musibah, orang tua dirundung duka, dan pada saat anak berhasil, menjadi shalih atau berprestasi dalam hidupnya, maka orang tuanya merasa bangga bukan kepalang.
Namun realita banyak mengungkap, bahwa saat orang tua berhasil atau berjaya dalam hidupnya maka sang anak akan mengikuti dan menikmati kejayaan dan kemakmurannya. Sebaliknya, saat sang anak berjaya dan berhasil dalam hidupnya, belum tentu orang tuanya ikut menikmati kejayaan bersama buah hatinya yang selama ini disayangnya. Contoh yang jelas, saat orang tua memiliki rumah megah dan kendaraan mewah maka sang anak akan turut menikmatinya. Orang tuapun mengajarinya bagaimana mengendarai kendaraan mewah mereka. Namun, saat sang anak yang berhasil memiliki mobil mewah, apakah ia tergerak untuk mengajarkan orang tuanya agar bisa mengendarai dan menikmati kendaraan itu setiap hari? Tentu, tanpa di jawab pun kita sudah tahu jawabannya. Bila orang tua kaya kehidupan anak sangat manja dan tampil bagaikan majikan sementara bila anak yang berjaya orang tua diperlakukan sebagaimana pembantu atau bahkan budak.
Anak merupakan karunia terbesar dalam hidup manusia. Tetapi tidak jarang, justru karena si anak pula orang tua seringkali harus mengelus dada dan tenggelam dalam jurang nestapa dan derita. Karena di samping sebagai sebuah karunia, anak juga dapat membentuk sikap pengecut, melahirkan sifat bakhil, membuat bodoh dan menjadi sumber fitnah serta dapat menghancurkan hidup kedua orang tuanya. Maka benar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam :
Anak adalah buah hati dan sesungguhnya dia membuat (orang tuanya) pengecut, bersikap bakhil dan gundah gulana.[2]
Tidak sedikit contoh yang terjadi di sekitar hidup kita. Tiada hujan tiada badai, tiba-tiba orang tua kaget tak kepalang seperti tersambar petir di teriknya siang. Ia mendengar bahwa anaknya didapatkan sedang sakaw, meninggal karena overdosis, tertangkap sebagai penjahat, pezina, atau hamil di luar nikah. Padahal selama ini ia merasa belahan jiwanya itu sebagai anak yang pendiam, lucu, dan lugu. Ia juga merasa sudah mendidik dengan benar buah hatinya. Tapi tiba-tiba, ia menemukan kenyataan sangat memilukan, yang membuat dunia seakan runtuh. Maka terpukul hatinya, terkoyak nuraninya, tersiksa batinnya dan tersentak perasaannya serta merasa hancur jiwa raganya. Ternyata, buah hati yang disayang dan dibanggakan, telah mencoreng muka dan merusak nama baik keluarga.
Karena itu, Islam sangat menekankan kepada umatnya, agar senantiasa mendidik buah hati agar menjadi anak shalih, membimbing mereka agar selalu berdoa dan memohon keshalihan dan segala karunia kebaikan untuk putera-puteri mereka.
“Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati(kami) dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa,” (QS Al Furqan: 74).
Agar orang tua mampu menggapai derajat kesalihan anaknya dan memetik buah hatinya sehingga menjadi simpanan paling mahal di akherat kelak, dan keinginannya tidak pupus serta harapannya tidak kandas. Maka setiap orang tua harus berpegang teguh dengan al-Qur’an dan as-Sunnah sesuai dengan pemahaman salafus shalih, memiliki ilmu agama yang cukup, menumbuhkan kesadaran yang tinggi tentang pentingnya pendidikan anak dan memadatkan bimbingan aqidah dan akhlak Islam kepada mereka serta menjauhkan mereka dari teman-teman yang buruk dan lingkungan rusak.
Pendidikan Untuk Anak Shalih
Anak selalu dipandang sebagai karunia Allah subhanahu wata’ala , buah hati, peneduh mata, kebanggaan orang tua, penyejuk jiwa, pelibur lara dan belahan jiwa yang berjalan di muka bumi sekaligus perhiasan dunia, Allah subhanahu wata’ala berfirman: Dijadikan indah pada (pandangan manusia) kecintaan kepada apa-apa yang diingini yaitu; wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik(Surga). (Ali Imran 14)
Anak ibarat bunga yang senantiasa menebar aroma wangi bagi setiap sudut kehidupan orang tuanya, bahkan anak menjadi perekat hubungan kedua pasangan yang sedang dirundung konflik pasutri dan bisa menambah harmonis kehidupan rumah tangga. Namun terkadang anak juga bagaikan secawan arak yang membuat orang tuanya mabuk kepayang dan terjatuh dalam fitnah dunia sehingga binasa di dunia dan akherat. Agar orang tua tetap untung dan bahagia punya anak maka harus mengerahkan jerih payah untuk mendidik, karena untuk mendapatkan anak shalih tidak semudah membalik tangan tetapi dibutuhkan usaha serius dan kerja keras serta kerja sama kompak antara kedua orang tua dalam merealisasikan harapan tersebut, terutama meluruskan pemahanan tentang konsep pendidikkan anak. Sebab pendidikan ibarat proses menyemai tanaman bila tamanan setelah tumbuh dipupuk dan disemprot hamanya dengan rutin maka tanaman akan tumbuh lebat dan memberikan buah terbaiknya saat musim panen.
Dan anak bisa menjadi shalih hanya dengan peran aktif orang tua dalam membimbing, mengarahkan dan mendidiknya secara benar dan ikhlas. Walaupun anak terlahir dalam keadaan fitrah, namun seiring berjalannya waktu peran orang tua sangat menentukan baik dan buruk pribadi anak-anaknya sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam telah memberitakan tentang hal itu dalam sabdanya:
Tidaklah seorang bayi yang dilahirkan melainkan dalam keadaan fitrah (bertauhid). Maka kedua ibu bapaknyalah yang menjadikan Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Bagaikan onta yang lahir sehat, apakah kamu menemuinya cacat. Kemudian Abu Hurairah berkata: Dan Bacalah firman Allah jika kamu mau: (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (QS. Ar Ruum:30). [3]
Barangsiapa berharap puteranya menjadi orang yang salih, ikhlas beramal karena Allah subhanahu wata’ala, mengamalkan petunjuk manusia pilihan, bermanfaat untuk umatnya, berjuang untuk umat, dan menjadi anak shalih yang selalu berdoa untuk kedua orang tua dan dikabulkan permohonannya oleh Dzat Yang Maha Tinggi dan Maha Mampu sehingga derajat kedua orang tua diangkat di surga maka hendaklah bersungguh-sungguh dalam mendidik anak-anaknya. Dan orang tua akan mendapat pahala dan balasan atas kebaikan yang telah diberikan kepada putera-puterinya baik berupa makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggal maka sebaiknya setiap orang tua memiliki perhatian tinggi dalam mendidik anak dengan bimbingan dan pendidikan yang benar.
Segala jerih payah orang tua dalam mendidik anak sangat dibutuhkan, baik dengan mendidiknya sendiri atau diamanahkan kepada orang lain dengan dikirim ke pondok pesantren atau lewat penyediaan sarana pendidikan yang terbaik melalui privat. Dan yang tak kalah penting, doa yang senantiasa dipanjatkan dengan tulus ikhlas dan penuh harap oleh kedua orang tuanya dapat memuluskan keinginan mereka untuk memiliki anak yang shalih dengan seizin Allah subhanahu wata’ala. Bukankah ridha Allah subhanahu wata’ala tergantung pada ridha orang tua?
Oleh karena itu, keshalihan atau kekufuran sang anak tidak bisa lepas dari peran dan tanggung jawab orang tuanya, karena pendidikan adalah sebuah amanah. Sedangkan pendidikan terhadap keluarga merupakan kewajiban utama dan amanah yang sangat besar, maka tidak boleh disia-siakan. Semuanya harus bermula dari diri sendiri, lalu istri, anak-anak dan kerabatnya, sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan,” (QS At-Tahrim [66]: 6).
Setiap muslim pasti akan dimintai pertanggung-jawaban atas apa yang dipimpinnya. Ia akan mendapatkan limpahan karunia dan pahala atas segala kebaikan pendidikan yang ia berikan. Sebaliknya, bila ia menyia-nyiakan amanah dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya, maka ia akan mendapat sanksi atas segala keteledoran yang terjadi di tengah keluarganya.
Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda:
“Setiap kalian adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung jawaban atas kepemimpinannya dan imam adalan pemimpin, dan orang laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya, dan wanita adalah penanggung jawab atas rumah suami dan anaknya. Dan setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan diminta pertanggung-jawaban atas kepemimpinannya.” [4]
Suami dan istri harus menyadari sepenuhnya bahwa mendidik keluarga bukanlah urusan ringan, perkara sepele dan kerjaan sambilan. Dan juga bukan hanya sekedar pernyataan atau pemikiran sederhana. Bahkan, pendidikan keluarga merupakan proses pemenuhan hajat hidup yang asasi bagi setiap anggota keluarga, masalah rumah tangga yang urgen dan buah karya yang memiliki konsekuensi jauh ke depan.
[1] Riwayat Tirmidzi1021 dia berkata Hadits hasan Shahih, Jami’ Shaghir 1/795, Ash Shahihah 1407
[2] . Shahih diriwayatkan Imam Ibnu Majah dalam Sunannya (3666) dan lihat Shahihul Jami’ no: 7160.
[3]. Muttafaqun alaih, diriwayatkan Imam Bukhari dalam Shahihnya dalam Kitabul Janaiz, (1385) dan Imam Muslim dalam Shahihnya dalam Kitab Al Qadar (6697), Imam Abu Daud dalam Sunannya (4714) dan Imam at-Tirmidzi dalam Sunannya (2138).
[4] . Shahih diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya (844, 2232, 2368, 4801)
(Copas dari MP Ummu Afifah)
0 Comment:
Posting Komentar